Jumat, 15 April 2011


(The Correlation Between Transactional - Transformational Leadership Style Perception and Employees’ Job Satisfaction)
Abstract
The main purpose of this research was to examine the correlation between the transactional and transformational leadership style perception and job satisfaction at Coordination Bureau of South Sumatera Credit Cooperation (Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah Sumatera Selatan). This research employed random sampling technique. The subjects of this research were 100 employees. The data were collected using three questionnaires: the transactional leadership, transformational leadership, and job satisfaction questionnaires. Data were analyzed using multiple regression, partial correlation, Pearson’s Product Moment, and t-test analysis. The result of the research are: (1) the was a very significant and positive correlation between transformational leadership style perception and job satisfaction, (2) there was not significant and negative correlation between transactional leadership style perception with job satisfaction, (3) there was a very significant and positive correlation among transactional and transformational leadership style perception with job satisfaction, and (4) there was a very significant difference in job satisfaction between male and female employees.
Keywords: perception, transactional, transformational, job satisfaction Vol. 1 No. 1, Desember 2004 Hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional 36
Pendahuluan
Dewasa ini kepuasan kerja karyawan merupakan salah satu topik yang senantiasa menarik dan dianggap penting, baik oleh ilmuwan maupun praktisi, justru karena kepuasan kerja dipandang dapat mempengaruhi jalannya organisasi secara keseluruhan.
Setiap organisasi memiliki tujuan untuk mencapai kinerja yang seoptimal mungkin. Peningkatan kinerja organisasi yang seoptimal mungkin tidak terlepas dari kepuasan kerja karyawan, sebagai salah satu faktor yang menentukan kinerja organisasi.
Berhadapan dengan usaha peningkatan kepuasan kerja karyawan, salah satu permasalahan dasar adalah bagaimana sebenarnya meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Locke (dalam Berry, 1998) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai emosi positif atau perasaan senang, sebagai hasil dari penilaian seorang karyawan terhadap faktor pekerjaan atau pengalaman-pengalaman kerjanya. Hal ini bersifat abstrak, sehingga tidak dapat diamati secara langsung (Berry dan Houston, 1993). Menurut Berry (1998); Spector dan Jex (1991) karyawan yang memiliki kepuasan kerja ditunjukkan oleh sikap yang tidak pernah absen, datang tepat waktu, bersemangat dan memiliki motivasi yang tinggi.
Kepuasan kerja, sebagaimana dikemukakan oleh Riggio (1990), merupakan faktor penting yang mempengaruhi kepuasan hidup karyawan karena sebagian besar waktu karyawan digunakan untuk bekerja. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Judge (1993) melihat adanya hubungan erat antara kepuasan kerja, absensi, pemogokan kerja, dan turnover. Selanjutnya, Herzberg (dalam Wixley dan Jukl, 1988) mengemukakan bahwa kepuasan kerja didukung oleh lima faktor yang meliputi: pekerjaan, rekan kerja, gaji dan kesejahteraan karyawan, promosi, dan pemimpin.
Sebagai salah satu faktor penentu kinerja organisasi, kepuasan kerja merupakan faktor yang sangat kompleks karena kepuasan kerja dipengaruhi berbagai faktor, di antaranya adalah gaya kepemimpinan (Judge dan Locke, 1993). Selanjutnya, Berry (1998); Schultz dan Schultz (1994) mengemukakan variabel sertaan yang dianggap sebagai variabel demografik antara lain jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, dan masa kerja. Kwan dkk. (1997) mengemukakan bahwa tingkat pendidikan berhubungan positif dengan kepuasan kerja. Selanjutnya Berry dan Houston (1993) berpendapat bahwa masa kerja mempengaruhi kepuasan kerja.
Para ahli (misalnya Bass, 1990; Berry dan Houston, 1993); Burn dalam Pawar dan Eastman, 1997; Eisenbach dkk., 1999; Keller, 1992) mengemukakan ada dua gaya kepemimpinan dalam organisasi, yakni gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional.
          Bertitik tolak dari pentingnya kepuasan kerja dalam kaitannya dengan gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris hubungan antara persepsi gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional dengan kepuasan kerja.
Tinjauan Pustaka
Salah satu teori yang menekankan suatu perubahan dan yang paling komprehensif berkaitan dengan kepemimpinan adalah teori kepemimpinan transformasional dan transaksional (Bass, 1990). Gagasan awal mengenai gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional ini dikembangkan oleh James MacFregor Gurns yang menerapkannya dalam konteks politik. Gagasan ini selanjutnya disempurnakan serta diperkenalkan ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass (Berry dan Houston, 1993).
Burn (dalam Pawar dan Eastman, 1997) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional dapat dipilah secara tegas dan keduanya merupakan gaya kepemimpinan yang saling bertentangan. Kepemimpinan transformasional dan transaksional sangat penting dan dibutuhkan setiap organisasi.
Selanjutnya Burn (dalam Pawar dan Eastman, 1997; Keller, 1992) mengembangkan konsep kepemimpinan transformasional dan transaksional dengan berlandaskan pada pendapat Maslow mengenai hirarki kebutuhan manusia. Menurut Burn (dalam Pawar dan Eastman, 1997) keterkaitan tersebut dapat dipahami dengan gagasan bahwa kebutuhan karyawan yang lebih rendah, seperti kebutuhan fisiologis dan rasa aman hanya dapat dipenuhi melalui praktik gaya kepemimpinan transaksional. Sebaliknya, Keller (1992) mengemukakan bahwa kebutuhan yang lebih tinggi, seperti harga diri dan aktualisasi diri, hanya dapat dipenuhi melalui praktik gaya kepemimpinan transformasional.
Sejauhmana pemimpin dikatakan sebagai pemimpin transformasional, Bass (1990) dan Koh, dkk. (1995) mengemukakan bahwa hal tersebut dapat diukur dalam hubungan dengan pengaruh pemimpin tersebut berhadapan karyawan. Oleh karena itu, Bass (1990) mengemukakan ada tiga cara seorang pemimpin transformasional memotivasi karyawannya, yaitu dengan:
1) mendorong karyawan untuk lebih menyadari arti penting hasil usaha;
2) mendorong karyawan untuk mendahulukan kepentingan kelompok; dan
3) meningkatkan kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti harga diri dan aktualisasi diri.
Vol. 1 No. 1, Desember 2004 Hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional 38


Berkaitan dengan kepemimpinan transformasional, Bass (dalam Howell dan Hall-Merenda, 1999) mengemukakan adanya empat karakteristik kepemimpinan transformasional, yaitu:
1) karisma,
2) inspirasional,
3) stimulasi intelektual, dan
4) perhatian individual.
Selanjutnya, Bass (1990) dan Yukl (1998) mengemukakan bahwa hubungan pemimpin transaksional dengan karyawan tercermin dari tiga hal yakni:
1) pemimpin mengetahui apa yang diinginkan karyawan dan menjelasakan apa yang akan mereka dapatkan apabila kerjanya sesuai dengan harapan;
2) pemimpin menukar usaha-usaha yang dilakukan oleh karyawan dengan imbalan; dan
3) pemimpin responsif terhadap kepentingan pribadi karyawan selama kepentingan tersebut sebanding dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan karyawan.
Bass (dalam Howell dan Avolio, 1993) mengemukakan bahwa karakteristik kepemimpinan transaksional terdiri atas dua aspek, yaitu imbalan kontingen, dan manajemen eksepsi.
Berkaitan dengan pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap perilaku karyawan, Podsakoff dkk. (1996) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional merupakan faktor penentu yang mempengaruhi sikap, persepsi, dan perilaku karyawan di mana terjadi peningkatan kepercayaan kepada pemimpin, motivasi, kepuasan kerja dan mampu mengurangi sejumlah konflik yang sering terjadi dalam suatu organisasi.
Menurut Bycio dkk. (1995) serta Koh dkk. (1995), kepemimpinan transaksional adalah gaya kepemimpinan di mana seorang pemimpin menfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan.
Judge dan Locke (1993) menegaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan salah satu faktor penentu kepuasan kerja. Jenkins (dalam Manajemen, 1990), mengungkapkan bahwa keluarnya karyawan lebih banyak disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap kondisi kerja karena karyawan merasa pimpinan tidak memberi kepercayaan kepada karyawan, tidak ada keterlibatan karyawan dalam pembuatan keputusan, pemimpin berlaku tidak objektif dan tidak jujur pada karyawan. Pendapat ini didukung oleh Nanus
Jurnal PSYCHE Marselius ST - Rita Andarika 39


(1992) yang mengemukakan bahwa alasan utama karyawan meninggalkan organisasi disebabkan karena pemimpin gagal memahami karyawan dan pemimpin tidak memperhatikan kebutuhan-kebutuhan karyawan. Dalam kaitannya dengan koperasi, Kemalawarta (2000) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kendala yang menghambat perkembangan koperasi di Indonesia adalah keterbatasan tenaga kerja yang terampil dan tingginya turnover.
Pada dasarnya, kepemimpinan merupakan kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi karyawan dalam sebuah organisasi, sehingga mereka termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam memberikan penilaian terhadap gaya kepemimpinan yang diterapkan pemimpin, karyawan melakukan proses kognitif untuk menerima, mengorganisasikan, dan memberi penafsiran terhadap pemimpin (Solso, 1998).
Berbagai penelitian yang dilakukan berkaitan dengan kepuasan kerja terutama dalam hubungannya dengan gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional. Penelitian yang dilakukan oleh Koh dkk. (1995) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepemimpinan transformasional dan transaksional dengan kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Popper dan Zakkai (1994) menunjukkan bahwa pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap organisasi sangat besar.
Bertitik-tolak dari tinjauan pustaka di atas, maka hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

(1) terdapat hubungan positif antara persepsi gaya kepemimpinan transformasional dengan kepuasan kerja;
(2) terdapat hubungan negatif antara persepsi gaya kepemimpinan transaksional dengan kepuasan kerja;
(3) terdapat hubungan positif antara persepsi gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional, secara bersama-sama, dengan kepuasan kerja; dan
(4) terdapat perbedaan kepuasan kerja antara karyawan laki-laki dengan karyawan perempuan.
Metode Penelitian
Variabel-Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini ada tiga jenis variabel penelitian, yakni variabel bebas (independent variable), variabel tergantung (dependent variable), dan variabel sertaan. Yang menjadi variabel bebas dalam penelitian ini adalah: (1) spersepsi gaya kepemimpinan transformasional, dan (2) persepsi gaya kepemimpinan transaksional. Variabel tergantung penelitian ini adalah Vol. 1 No. 1, Desember 2004 Hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional 40
kepuasan kerja. Variabel sertaan adalah: (1) jenis kelamin, (2) umur, dan (3) tingkat pendidikan.
Subjek
Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 100 orang karyawan Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah Sumatera Selatan. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan random sampling.
Alat Ukur
Untuk mendapatkan data mengenai variabel bebas dan variabel tergantung, penelitian ini menggunakan tiga angket yakni: (1) angket kepuasan kerja, (2) angket kepemimpinan transformasional, dan (3) angket kepemimpinan transaksional.
Angket pertama, angket kepuasan kerja, digunakan untuk mengetahui untuk mengetahui sikap karyawan terhadap faktor-faktor pekerjaan. Angket kedua, angket kepemimpinan transformasional, digunakan untuk mengetahui persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan pemimpin yang berkaitan dengan kepemimpinan transformasinal. Angket ketiga, angket kepemimpinan transaksional, digunakan untuk mengetahui persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan pemimpin yang berkaitan dengan kepemimpinan transaksional. Sementara itu, data mengenai variabel sertaan, yakni: jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, dan masa kerja diperoleh berdasarkan self-report subjek dalam angket.
Metode Analisis Data
Teknik analisis statistik yang digunakan untuk menguji keempat hipotesis penelitian adalah analisis korelasi parsial, analisis regresi ganda, uji-t, dan analisis product moment.
Hasil
Hasil hipotesis pertama yang menggunakan analisis korelasi parsial menunjukkan bahwa persepsi gaya kepemimpinan transformasional dengan kepuasan kerja berkorelasi secara positif dan sangat signifikan dengan koefisien korelasi sebesar 0,835; p < 0,01.
Hipotesis kedua yang dianalisis dengan dengan analisis korelasi parsial menunjukkan bahwa persepsi gaya kepemimpinan transaksional berkorelasi secara negatif dan tidak signifikan dengan kepuasan kerja, dengan koefisien korelasi sebesar -0,061; p > 0,05.
Hipotesis ketiga yang dianalisis dengan analisis korelasi regresi ganda menunjukkan bahwa persepsi gaya kepemimpinan transformasional dan Jurnal PSYCHE Marselius ST - Rita Andarika 41
transaksional, secara bersama-sama, berkorelasi secara positif dan sangat signifikan dengan kepuasan kerja, dengan koefisien korelasi sebesar 0,695; p < 0,01.
Hipotesis keempat yang dianalisis dengan uji-t menunjukkan bahwa kepuasan kerja karyawan perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan laki-laki, berkaitan dengan kelima faktor kepuasan kerja, yaitu faktor pekerjaan, rekan kerja, gaji, promosi, dan pimpinan. Hal ini diketahui dari hasil uji-t yang menunjukkan rerata sebesar 116,42 untuk karyawan perempuan dan 109,68 untuk karyawan laki-laki.
Hasil penelitian lain pada keempat faktor gaya kepemimpinan transformasional yakni faktor karisma, inspirasional, stimulasi intelektual, dan perhatian individual yang dianalisis teknik korelasi product-moment akan dijelaskan satu persatu.
Hasil penelitian pada faktor karisma menunjukkan terdapat hubungan positif dan sangat signifikan antara faktor karisma dengan kepuasan kerja. Hal ini dapat diketahui dari koefisien korelasi sebesar 0,773; p < 0,01.
Hasil penelitian pada faktor inspirasional menunjukkan terdapat hubungan positif dan sangat signifikan antara faktor inspirasional dengan kepuasan kerja, dengan koefisien korelasi sebesar 0,772; p < 0,01.
Hasil penelitian pada faktor stimulasi intelektual menunjukkan terdapat hubungan positif dan sangat signifikan antara faktor stimulasi intelektual dengan kepuasan kerja, dengan koefisien korelasi sebesar 0,655; p < 0,01.
Hasil penelitian pada faktor perhatian individual menunjukkan terdapat hubungan positif dan sangat signifikan antara faktor perhatian individual dengan kepuasan kerja, dengan koefisien korelasi sebesar 0,699; p < 0,01.
Hasil penelitian pada kedua faktor gaya kepemimpinan transaksional yakni faktor imbalan kontingen dan manajemen eksepsi dengan menggunakan analisis korelasi product moment akan dijelaskan satu persatu. Hasil penelitian pada faktor imbalan kontingen menunjukkan terdapat hubungan negatif dan tidak signifikan antara faktor imbalan dengan kepuasan kerja, dengan koefisien korelasi sebesar -0,008; p > 0,05.
Hasil penelitian pada faktor manajemen eksepsi menunjukkan terdapat hubungan negatif dan tidak signifikan antara faktor manajemen eksepsi dengan kepuasan kerja, dengan koefisien korelasi sebesar -0,190; p > 0,05.
Hasil penelitian lain berkaitan dengan variabel sertaan yaitu umur, tingkat pendidikan, dan masa kerja. Hasil analisis korelasi product moment menunjukkan terdapat hubungan positif dan sangat signifikan antara umur dengan kepuasan kerja. Hal ini diketahui dari koefisien korelasi sebesar 0,632; p < 0,01. Vol. 1 No. 1, Desember 2004 Hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional 42
Hasil analisis korelasi product moment menunjukkan terdapat hubungan positif dan sangat signifikan antara tingkat pendidikan dengan kepuasan kerja. Hal ini diketahui dari koefisien korelasi sebesar 0,250; p < 0,01.
Hasil analisis korelasi product momen menunjukkan hubungan positif dan sangat signifikan antara masa kerja dengan kepuasan kerja, dengan koefisien korelasi sebesar 0,601; p < 0,01.
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui pula sumbangan efektif masing-masing prediktor (kepemimpian transformasional, kepemimpian transaksional, jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, dan masa kerja) terhadap kriterium (kepuasan kerja). Sumbangan efektif kepemimpinan transformasional sebesar 57,202 persen; kepemimpinan transaksional sebesar 0,478 persen; jenis kelamin sebesar 1,126 persen, umur sebesar 7,728 persen, tingkat pendidikan sebesar 1,638, dan masa kerja sebesar 4,554 persen. Dengan demikian, sumbangan efektif seluruh predikor sebesar 72,727 persen. Hal ini berarti terdapat 27,273 persen variansi lain di luar penelitian ini yang mempengaruhi kepuasan kerja dan belum terungkap dalam penelitian ini.
Pembahasan
Hasil uji hipotesis pertama penelitian ini yang menunjukkan adanya korelasi positif dan sangat signifikan antara persepsi gaya kepemimpinan transformasional (r=0,835; p < 0,01), mendukung pendapat Keller (1992) yang mengatakan bahwa praktik gaya kepemimpinan transformasional mampu meningkatkan kepuasan kerja bagi karyawan karena kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri. Selain itu, hasil penelitian ini juga memperkuat pendapat Nicholls (1994), Pawar dan Eastman (1997) bahwa praktik gaya kepemimpinan trnasformasional mampu membawa perubahan-perubahan yang lebih mendasar seperti nilai-nilai, tujuan, dan kebutuhan karyawan dan perubahan-perubahan tersebut berdampak pada meningkatnya kepuasan kerja karyawan karena terpenuhinya kebutuhan yang lebih tinggi. Senada dengan pendapat para ahli sebelumnya, Bycio dkk. (1995) serta Howell dan Avolio (1993) mengemukakan bahwa kepmimpinan transformasional memiliki keterkaitan yang positif terhadap kepuasan kerja karyawan kerena karyawan merasa dihargai eksistensinya.
Hasil uji hipotesis kedua penelitian ini yang menunjukkan bahwa persepsi gaya kepemimpinan transaksional berkorelasi secara negatif dan tidak signifikan dengan kepuasan kerja (r= -0,061; p > 0,05), sejalan dengan pendapat Koh dkk. (1995) yang menegaskan bahwa kepemimpinan transaksional hanya menekankan pada transaksi interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran.
didasarkan pada kesepakatan mengenai klarifikasi sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan. Pendapat ini sejalan dengan pandapat Bass (1990) yang mengemukakan bahwa kepemimpinan transaksional merupakan dasar bagi berlangsungnya efektivitas organisasi, tetapi belum menjelaskan usaha dan kinerja optimal karyawan yang ditekankan pemimpin. Selanjutnya menurut Burn (dalam Pawar dan Eastman, 1997) bahwa ada hubungan yang tidak signifikan antara kepemimnpinan transaksional dengan kepuasan kerja.
Hasil uji hipotesis ketiga penelitian ini, yang menunjukkan bahwa persepsi gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional, secara bersama-sama, berkorelasi secara positif dan sangat signifikan dengan kepuasan kerja (R=0,695; p < 0,01), sejalan dengan pendapat Keller (1992) yang mengatakan bahwa praktik gaya kepemimpinan transformasional mampu meningkatkan kepuasan kerja bagi karyawan karena kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri terpenuhi. Selanjutnya, praktik kepemimpinan transaksional mampu meningkatkan kepuasan kerja bagi karyawan karena kebutuhan karyan yang lebih rendah seperti kebutuhan fisologis dan rasa aman dapat terpenuhi pula (Burn dalam Pawar dan Eastman, 1997). Pendapat ini diperkuat oleh Seltzer dan Bass (1990) yang mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional mempengaruhi kepuasan kerja.
Hasil uji hipotesis keempat penelitian ini yang menunjukkan bahwa kepuasan kerja karyawan perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan laki-laki, berkaitan dengan kelima faktor kepuasan kerja, yaitu faktor pekerjaan, rekan kerja, gaji, promosi, dan pimpinan, mendukung pendapat Ostroff (1992) yang mengemukakan bahwa ada perbedaan orientasi kerja antara karyawan laki-laki dengan karyawan perempuan. Sebagian besar karyawan perempuan bekerja bukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau mengejar karier yang tinggi, tetapi lebih deisebabkan oleh keinginan untuk bekerja saja. Sebaliknya, karyawan laki-laki lebih dituntut untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Menurut Judge dan Watanabe (1993), karyawan perempuan bekerja hanya untuk mewujudkan pengalaman hidup yang lebih menyenangkan. Perbedaan sifat kerja antara karyawan laki-laki dan karyawan perempuan berpengaruh terhadap kepuasan kerja, sehingga dapat disimpulkan bahwa karyawan perempuan lebih merasa puas dibandingkan dengan karyawan laki-laki.
Hasil penelitian ini pada faktor karisma, yang menunjukkan adanya hubungan positif dan sangat signifikan antara faktor karisma dengan kepuasan kerja (r=0,773; p < 0,01), dapat dijelaskan sebagai berikut. Tinggi rendahnya karisma pemimpin dapat dilihat dari tinggi rendahnya kemampuan pemimpin dalam mengkomunikasikan visi organisasi, kemampuan menumbuhkan Vol. 1 No. 1, Desember 2004 Hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional 44
kepercayaan, rasa kagum karyawan terhadap pemimpin, dan kemampuan pemimpin memotivasi karyawan dalam menjalankan kegiatan organisasi (Bass, 1990; Nanus, 1992; Popper dan Zakkai, 1994). Hasil penelitian ini juga mendukung pendapat Yukl (1998) yang mengatakan bahwa pemimpin transformasional dalam pemimpin karismatik yang memiliki pengaruh yang besar terhadap karyawannya. Pemimpin karismatik adalah pemimpin yang mampu menimbulkan emosi-emosi yang kuat. Pemimpin diidentifikasi sebagai panutan oleh karyawan, dipercaya, dihormati, dan memiliki visi yang jelas. Dengan kekuatan dan pengaruh yang dimilikinya, pemimpin karismatik mudah mengarahkan karyawannya untuk mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya bagi kepentingan organisasi yang mengarah kepada tercapai apa yang menjadi tujuan organisasi.
Hasil penelitian ini pada faktor inspirasional, yang menunjukkan adanya hubungan positif dan sangat signifikan antara faktor inspirasional dengan kepuasan kerja (r=0,772; p < 0,01), terjadi karena secara teoritis, tinggi rendahnya faktor inspirasional dalam setiap pemimpin dapat dilihat dari tinggi rendahnya kemampuan pemimpin dalam mengkomunikasikan harapan-harapan yang tinggi, kemampuan pemimpin dalam menggunakan simbol-simbol untuk menfokuskan kerja keras, kemampuan pemimpin dalam menyampaikan tujuan-tujuan penting dengan cara yang sederhana dan jelas (Bass, dalam Juge dan Bono, 2000). Selanjutnya, hasil penelitian ini memperkuat pendapat Bass (1997) yang mengatakan bahwa melalui kemampuan inspirasionalnya, seorang pemimpin yang inspirasional mampu membangkitkan antusiasme karyawan terhadap tugas-tugas kelompok dan dapat menumbuhkan kepercayaan karyawan terhadap tugas-tugas kelompok, serta dapat menumbuhkan kepercayaan karyawan terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan kelompok (Bass, 1997). Selain itu, seorang pemimpin yang inspirasional mampu menciptakan suasana keterbukaan dan kepercayaan (Yukl, 1998). Dengan kata lain, membangun kepercayaan diri karyawan menurut Seltzer dan Bass (1990) adalah elemen utama dari pemimpin yang inspirasional. Keyakinan diri yang besar terhadap apa yang dilakukan akan menimbulkan kepuasan kerja dan usaha yang melebihi usaha biasanya.
Hasil penelitian ini pada faktor stimulasi intelektual, yang menunjukkan adanya hubungan positif dan sangat signifikan antara faktor stimulasi intelektual dengan kepuasan kerja (r=0,655; p < 0,01), terjadi karena tinggi rendahnya stimulasi intelektual pemimpin dapat dilihat dari tinggi rendahnya kemampuan pemimpin dalam mengembangkan rasionalitas dan kreativitas karyawan, menghargai ide-ide karyawan, serta kemampuan pemimpin untuk melibatkan karyawan dalam pemecahan masalah (Bass, 1990). Dengan demikian, hasil penelitian ini mendukung pendapat Yukl (1998) yang mengatakan bahwa
pemimpin transformasional adalah pemimpin yang mampu mendorong karyawannya untuk memuncuklan ide-ide baru dan solusi kreatif atas masalah-masalah yang dihadapi.
Hasil penelitian ini pada faktor perhatian individual, yang menunjukkan adanya hubungan positif dan sangat signifikan antara faktor perhatian individual dengan kepuasan kerja (r=0,699; p < 0,01), sejalan dengan pendapat Bass (1990) bahwa tinggi rendahnya perhatian individual pemimpin dapat dilihat dari tinggi rendahnya kemampuan pemimpin dalam memberikan perhatian secara individual pada kebutuhan untuk berprestasi, dalam menghargai perbedaan individual, dan dalam memberikan pengarahan kepada karyawan. Hasil penelitian ini juga mendukung pendapat ahli lain, yakni Howell dan Hall-Merenda (1999) yang mengatakan bahwa pemimpin transformasional adalah pemimpin yang memiliki kemampuan dalam memberikan perhatian khusus pada kebutuhan setiap karyawan untuk berprestasi dan berkembang.
Hasil penelitian ini pada faktor imbalan kontingen, yang menunjukkan terdapat hubungan negatif dan tidak signifikan antara faktor imbalan dengan kepuasan kerja (r=-0,008; p > 0,05), sejalan dengan pendapat Bass (1990) yang megatakan bahwa tinggi rendahnya imbalan kontingen pemimpin dapat dilihat dari tinggi rendahnya kemampuan pemimpin dalam memberikan imbalan dan penghargaan atas usaha atau hasil pekerjaan yang telah dilakukan karyawan.
Hasil penelitian ini pada faktor manajemen eksepsi, yang menunjukkan adanya hubungan negatif dan tidak signifikan antara faktor manajemen eksepsi dengan kepuasan kerja (r=-0,190; p > 0,05), sesuai dengan pendapat Bass (1990), yang mengatakan bahwa tinggi rendahnya manajemen eksepsi pemimpin dapat dilihat dari tinggi rendahnya kemampuan pemimpin dalam memberikan pengawasan dan pengarahan jika menemukan penyimpangan atau kegagalan.
Hasil penelitian ini yang menunjukkan adanya hubungan positif dan sangat signifikan antara umur dengan kepuasan kerja (r = 0,632; p < 0,01), mendukung pendapat Mathieu dan Farr (1991) yang berpendapat bahwa ada hubungan yang signifikan atara umur dengan kepuasan kerja.
Selanjutnya, adanya hubungan positif dan sangat signifikan antara tingkat pendidikan dengan kepuasan kerja (r = 0,250; p < 0,01) pada penelitian ini, sejalan dengan pendapat Kwan dkk. (1997) bahwa tingkat pendidikan berhubungan positif dengan kepausan kerja.
Akhirnya, adanya hubungan positif dan sangat signifikan antara masa kerja dengan kepuasan kerja (r = 0,601; p < 0,01) pada penelitian ini, sesuai dengan pendapat Berry dan Houston (1993) yang mengatakan bahwa masa kerja mempengaruhi kepuasan kerja; semakin lama masa kerja maka kepuasan kerja akan semakin meningkat. Vol. 1 No. 1, Desember 2004 Hubungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar